ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 03 Agustus 2019

ASI dan Ayah Milennial


Sekarang ini kita hidup di zaman yang disebut era milennial. Apa sebenarnya pengertian milennial? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), milennial adalah berkaitan dengan generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an. Kehidupan generasi yang tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari teknologi informasi, terutama internet. Nah bagaimana halnya dengan proses pemberian ASI atau menyusui di era millennial ini?

            Saat ini informasi seputar Air Susu Ibu (ASI) dan menyusui banyak bertebaran di internet termasuk di media sosial. Berbagai informasi dengan mudah bisa diakses. Tinggal kita pilah pilih saja mana yang benar dan tentu saja harus sesuai dengan pendapat para ahli di bidang ini. Di era milennial ini, kesadaran akan pentingnya menyusui dan ASI sebagai makanan terbaik bagi seorang bayi makin meningkat. Hal tersebut terlihat dari mulai bermunculan berbagai organisasi ataupun lembaga atau komunitas yang bergerak di dunia per-ASI-an. Antusiasme juga ditampakkan dari keikutsertaan para ibu hamil dan menyusui untuk hadir di setiap kegiatan tersebut baik berupa kelas edukasi menyusui, maupun seminar seputar ASI dan menyusui.
Selain antusiasme mencari ilmu, saat ini bukan hal yang aneh melihat para ibu muda membawa tas kecil untuk keperluan memompa ASI saat bekerja. Sudah banyak tersedia berbagai jenis pompa ASI dengan berbagai ragam model serta harganya. Ibu bisa tetap memerah ASI walaupun sedang berada di perkantoran ataupun saat sedang bepergian dan berjauhan dengan bayinya, walaupun menyusui langsung (direct breastfeeding) jauh lebih disarankan dan karenanya menjadi bagian utama dari hirarki pemberian makanan dan minuman pada bayi.
Ruang laktasi juga mulai terlihat di beberapa tempat baik itu di bandara, rumah sakit, dan sebagian kecil di kegiatan seminar (biasanya yang berhubungan dengan ASI). Dalam Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 3 disebutkan bahwa penyediaan fasilitas khusus menyusui diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.  Selanjutnya Peraturan Pemerintah no. 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, pada pasal 30, 31, 32 disebutkan tentang tempat kerja dan sarana umum harus mendukung program pemberian ASI dengan menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan memerah ASI. Tempat sarana umum yang dimaksud adalah fasilitas pelayanan kesehatan, hotel, tempat rekreasi, terminal, stasiun, bandara udara, pelabuhan, tempat perbelanjaan, gedung olahraga dan termasuk juga lokasi pengungsian. Pengaturan tentang ruang laktasi tersebut juga dicantumkan dalam peraturan Gubernur Aceh no. 49 tahun 2016 yang disahkan tahun lalu, Agustus 2016.
Jadi wacana tentang penyediaan ruang laktasi bukanlah hal yang baru. Akan tetapi pelaksanaannya yang masih belum memadai, khususnya di Aceh. Menurut pengamatan penulis, ada beberapa kantor yang sudah menyediakan ruang laktasi akan tetapi letak ruangan yang tidak sesuai standar juga fasilitas yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak memenuhi syarat malah terkesan seperti ‘gudang kebersihan” yang berarti dijadikan ruang penyimpanan sapu, kain pel dan sebagainya. Juga terdapat ruang laktasi di instansi publik pelayan masyarakat akan tetapi ruangannya dalam keadaan selalu terkunci. Dan sebagian besar kantor malah tidak memilikinya sama sekali. Apalah lagi di berbagai tempat umum seperti terminal, pusat perbelanjaan, tempat wisata, hotel, gedung kegiatan. Sangat berharap semoga ke depan Pemerintah Aceh bisa memfokuskan membenahi permasalahan ini.
Nah, dengan mulai banyaknya ketertarikan terhadap ASI dan menyusui ini, ternyata masih banyak masalah di Indonesia. Negara kita  menduduki peringkat ke-5 negara dengan angka stunting tertinggi di dunia. Stunting berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan jangka pendek & panjang.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) bahwa angka stunting pada anak balita yaitu 30,8% dan pada baduta 29,9%, menunjukkan penurunan dibandingkan Riskesdas 2013 dengan angka stunting 37,2%. Di Aceh, angka stunting balita yaitu 37,3% dan pada baduta 37,9%. Akan tetapi meskipun tren stunting mengalami penurunan, hal ini masih berada di bawah rekomendasi WHO. Persentase stunting di Indonesia secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus mendapat perhatian khusus..
Stunting merupakan suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (yang seusia). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Terjadi mulai dari dalam kandungan dan nantinya akan tampak saat usia anak dua tahun. Stunting dimulai dari weight faltering (perlambatan pertumbuhan) yang paling banyak terjadi di usia 3 bulan sampai 24 bulan.
Sangat diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan intervensi dalam 1000 hari pertama kehidupan (270 hari dalam kandungan sampai usia 2 tahun (730 hari)) yaitu dengan mencegah kelahiran BBLR (berat badan lahir rendah) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) juga Makanan Pendamping ASI (MP ASI) yang tepat. Peran keluarga sangat penting untuk memberi dukungan kepada seorang ibu untuk sukses menyusui. Peran yang utama dari orang terdekat, terutama yang sangat diharapkan adalah dari seorang suami atau ayah si bayi.
Apa yang bisa dilakukan oleh seorang suami atau ayah milennial? Nah seorang suami bisa membantu istri sehingga bisa berhasil menyusui. Dari fakta hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat 90% tingkat keberhasilan menyusui bila didukung oleh suami, sedangkan bila tanpa dukungan suami maka tingkat keberhasilan menyusui hanya 26% saja. Hal yang dapat dilakukan yaitu bisa berupa membiarkan si istri istirahat. Proses menyusui lumayan menyita tenaga dan waktu si ibu. Tidak jarang untuk keperluan pribadinya saja seperti mandi, makan tidak sempat dilakukan ataupun dalam keadaan terburu buru. Nah bila ada kesempatan misalnya saat si bayi tertidur, maka biarkan si istri beristirahat juga. Bantu juga dengan memberi pijatan ringan di badan ataupun melakukan pijat oksitosin yaitu melakukan pijatan di bagian punggung si ibu dengan jempol tangan mulai dari bagian bawah leher sampai pinggang. Hanya diperlukan waktu 3-5 menit melakukannya tapi efek yang terjadi sangat dahsyat. ASI ibu menjadi lancar dan hubungan cinta semakin kuat transferannya melalui pijatan tersebut.
Seorang suami juga diharapkan bisa ikut bangun saat si istri menyusui terutama pada malam hari seperti membantu mengambilkan minum atau membantu mengganti popok bayi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengurus rumah baik itu membersihkan rumah, mencuci baju dan piring. Dan yang utama para suami haruslah menjadi supporter nomor satu. Karena anaknya anak berdua maka mengurusnya juga menjadi tanggung jawab berdua. Sanggupkah engkau para Ayah??? Harus sanggup dong!!!

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.