ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Rabu, 21 Agustus 2013

Rekomendasi IDAI tentang Penggunaan Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar pada Diare



REKOMENDASI No.: 001/Rek/PP IDAI/VIII/2009
Dengan mengkaji berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan penggunaan Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral pada penderita diare, maka disimpulkan bahwa pemberian Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar pada anak dengan diare memenuhi ‘Level of Evidence’ I (satu) dengan derajat rekomendasi A.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian preparat Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar direkomendasikan pada anak yang mengalami diare.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Disusun oleh: UKK Gastrohepatologi IDAI

Rekomendasi IDAI tentang Suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak


REKOMENDASI No.: 001/Rek/PP IDAI/2011
  1. Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun.
  2. Dosis dan lama pemberian suplementasi, untuk :
    • Bayi BBLR (<2500 g): 3 mg/kgBB/hari untuk usia 1 bulan sampai 2 tahun (dosis maksimum 15 mg/hari, diberikan  dosis tunggal).
    • Bayi cukup bulan: 2 mg/kgBB/hari untuk usia 4 bulan sampai 2 tahun.
    • Usia 2-5 tahun (balita): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun.
    • Usia >5-12 tahun (usia sekolah): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun.
    • Usia 12-18 tahun (remaja): 60 mg/hari atau 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun (khusus remaja perempuan, ditambah 400 µg asam folat).
  3. Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara massal.
  4. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap tahun sampai usia remaja. Bila pada hasil pemeriksaan ditemukan anemia, dicari penyebab anemia dan bila perlu dirujuk.
  5. Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi dan alat laboratorium untuk pemeriksaan status besi..
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Disusun oleh: Satgas ADEBE IDAI

Rekomendasi IDAI tentang Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi



REKOMENDASI No.: 001/Rek/PP IDAI/2010
  1. Untuk bayi dengan ASI ekslusif:
    • Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu selama 2-4 minggu.
    • Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.
    • Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
  2. Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar:
    • Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan 2-4 minggu.
    • Bila gejala menghilang  setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi. bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.
    • Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrosilat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
  3. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran protein susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI).
  4. Apabila susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya, maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai. Pemberian susu kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan.
  5. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung penegakan diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Disusun oleh: UKK Alergi-Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI

Rekomendasi IDAI tentang penggunaan Popok Bayi dan Anak untuk Mencegah Infeksi Saluran Kemih



REKOMENDASI No.: 002/Rek/PP IDAI/VI/2013
  1. Sebaiknya gunakan popok berbahan kain katun agar ventilasi lebih baik.
  2. Gantilah popok setiap selesai berkemih atau buang air besar.
  3. Bila menggunakan popok berbahan asam poliakrilat (disposable superabsorbent diapers) gantilah setiap selesai berkemih atau buang air besar.
  4. Bila menggunakan popok berbahan asam poliakrilat, gantilah sesering mungkin. Sebagai patokan, penggantian ini dapat dilakukan 2-3 jam sekali.
  5. Keringkan daerah kemaluan dan anus setelah pencucian dan penggantian popok  untuk mencegah lingkungan yang baik bagi perkembangbiakan kuman.
  6. Dapat juga digunakan sistem alarm untuk mengetahui perlu tidaknya penggantian popok, misalnya adanya perubahan warna popok bila terkena air kemih.
 Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.