ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Rabu, 17 Agustus 2016

Kontroversi Imunisasi



Program imunisasi nasional di Indonesia sudah dijalankan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 1977. Namun sebenarnya imunisasi di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, program imunisasi dilaksanakan sejak tahun 1956 melalui pemberian imunisasi cacar (variola) dan BCG. Setelah dicanangkan program imunisasi nasional tahun 1977 tersebut, jenis dan jumlah vaksin yang diberikan kepada masyarakat Indonesia terus bertambah. Saat ini vaksin yang beredar di Indonesia dan direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) adalah vaksin Hepatitis B, Polio, BCG, DPT- HiB, Campak. Vaksin tersebut bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas atau Rumah Sakit Pemerintah. Sedangkan beberapa vaksin lain yang merupakan rekomendasi IDAI yang juga sangat perlu untuk mendukung kesehatan bayi dan anak, belum termasuk dalam program imunisasi gratis dari Kemenkes sehingga masyarakat harus membayar untuk mendapatkannya. Vaksin tersebut yaitu Rotavirus, Pneumokokus (PCV), Influenza, MMR (Mump, Measles, Rubella), Tifoid, Hepatitis A, Varisella dan Human Papilloma Virus (HPV), bisa didapatkan di RS swasta atau praktek dokter spesialis anak.

 
Vaksin adalah suatu bahan berisi antigen (virus atau bakteri) yang dapat merangsang daya tahan tubuh (imunitas) yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh manusia untuk menerima keberadaan bahan bahan yang dimiliki dan dihasilkan oleh tubuh itu sendiri maupun menolak dan menghilangkan benda benda asing yang berasal dari luar tubuh. Imunitas terhadap virus atau bakteri ini ditandai dengan terbentuknya antibodi terhadap organisme kuman tersebut. Jadi prinsip imunisasi adalah memberikan antigen lewat vaksin ke dalam tubuh sehingga tubuh merespon dalam bentuk antibodi.

Adapun berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksin adalah Polio, Hepatitis B, Hepatitis A, Tuberkulosis (TB), Difteri, Pertusis, Tetanus, Meningitis, Pneumonia, Otitis Media, Sepsis, Diare karena Rotavirus, Campak, Gondongan, cacar air, Tifoid/tifus, influenza dan kanker leher rahim. 

Hepatitis B yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) disebut sebagai silent killer, karena gejala yang tidak tampak bertahun tahun tetapi saat diketahui, pasien sudah mengalami sirosis hati dan kanker hati (hepatoma). Risiko kanker hati ini menjadi sangat tinggi jika infeksi Hepatitis B terjadi pada usia dini. Karena itu, vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah lahir (dalam waktu 12 jam) disebabkan penularan ibu hamil yang mengidap Hepatitis B kepada bayinya sekitar 45%. Pemberian selanjutnya yaitu pada usia 1 dan 6 bulan.

Penyakit Polio ditargetkan bisa musnah pada tahun 2000. Sayangnya harapan tersebut tidak terwujud sehingga strategi eradikasi Polio terus dilakukan. Data Biofarma menunjukkan bahwa virus Polio liar sudah tidak ditemukan lagi di Indonesia sejak tahun 1995. Namun pada Maret 2005, dilaporkan adanya penderita Polio di Sukabumi, Jawa Barat. Kemenkes telah melakukan berbagai upaya eradikasi termasuk pelaksanaan PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Polio. PIN Polio tersebut baru saja dilaksanakan yaitu tanggal 8 – 15 Maret 2016.

Penyakit lain yang bisa dicegah dengan imunisasi yaitu difteri, yang kembali mewabah di tahun 2012. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012 mencapai 1192 kasus. Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pasien berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Pidie Jaya. Difteri merupakan penyakit saluran nafas berbahaya. Upaya pencegahannya melalui pemberian imunisasi DPT yang mulai diberikan usia 2 bulan, dilanjutkan usia 4, 6 bulan dan pada saat anak memasuki SD.

Kandungan Vaksin
Vaksin sering ditakuti karena mengandung bahan kimia yang dikhawatirkan membahayakan kesehatan. Sebagai produk bahan kimia, vaksin terdiri atas bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan aktif yaitu virus atau bakteri yang merupakan antigen. Tubuh diharapkan menjadi kebal terhadap penyakit akibat virus/bakteri itu sehingga tidak menjadi sakit. Bahan aktif bisa berupa virus/bakteri utuh, virus sub unit, komponen bakteri, dan toksin bakteri. Sedangkan bahan tambahan yaitu berupa ajuvan, pelarut, stabilisator, pengawet dan komponen trace

Ajuvan yaitu bahan yang digunakan untuk meningkatkan respon imun vaksin. Ajuvan sudah digunakan sejak puluhan tahun dan bahan yang paling sering dipakai adalah aluminium. Aluminium adalah bahan yang sehari hari berada dalam udara yang kita hirup, dalam air yang kita minum dan dalam makanan. Bahkan kandungan aluminium dalam ASI jauh lebih banyak daripada dalam vaksin.  Pengawet digunakan untuk mencegah kontaminasi bakteri ke dalam vaksin. Contoh pengawet yaitu timerosal yang mengandung merkuri dan dijadikan salah satu topik perdebatan dengan kelompok antivaksin. Merkuri yang dikandungnya adalah etil merkuri bukan metil merkuri yang sering didapat sebagai logam berat pencemar lautan.

Kelompok Antivaksin
Sejak bermunculan kelompok antivaksin yang menyebar informasi tentang bahaya imunisasi secara luas kepada masyarakat, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Banyak para orang tua yang terpengaruh setelah membaca informasi dari buku dan berita yang disebar oleh pegiat antivaksin, dan memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada anaknya. Hal ini tentu saja menyebabkan angka cakupan imunisasi semakin berkurang dan sangat dikhawatirkan bahwa penyakit yang sebelumnya sudah menghilang akan muncul kembali malah menimbulkan wabah. Akibat dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini dapat mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan saja anak sebagai individu namun juga anak anak lain yang tinggal di sekitarnya. Sejak tahun 2007, akibat gerakan antivaksin ini telah timbul 77.000 penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Data dari Jawa Barat menunjukkan bahwa tahun 2010 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dengan total penderita 739, sedangkan di tahun 2011 meningkat 35 kali. Kerugian yang ditimbulakn karena KLB sangat besar, bukan hanya kesakitan tapi juga biaya. Bila terjadi KLB di suatu daerah maka dana yang dibutuhkan sebesar 8 milyar, jumlah uang yang sangat banyak dan tidak seharusnya terbuang.

Berbagai isu yang dilempar oleh pegiat antivaksin antara lain bahwa imunisasi merupakan konspirasi Yahudi. Mereka menyebarkan informasi bahwa imunisasi bertujuan melenyapkan umat. Teori ini berlandaskan asumsi curiga dan kecurigaanya sama sekali tidak rasional. Isu lain yang dilempar adalah bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi. Memang sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan melalui plasenta. Bayi yang mendapat ASI juga mendapat tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Akan tetapi perlindungan yang didapat bayi tersebut baik dari antibodi ibu atau ASI tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifat perlindungannya hanya sementara. IgG ini akan menghilang ketika usia anak mencapai 1 tahun.

Isu lain yang dilempar dan  sangat mempengaruhi masyarakat muslim di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya yaitu tentang haramnya vaksin. Kita perlu tahu bahwa banyak negara muslim yang melaksanakan imunisasi di negaranya. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. DR. Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap berbagai vaksin yang digunakan saat ini. 

Selain itu persoalan yang sering dikaitkan dengan isu haram ini yaitu pemakaian enzim babi dalam pembuatan vaksin. Pembuatan vaksin tidaklah sesederhana yang dipikirkan, bukan seperti membuat obat campuran/puyer dimana semua obat yang ada termasuk enzim babi digerus menjadi satu dan kemudian menjadi vaksin. Enzim tripsin babi itu sebenarnya digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asama amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian difermentasi, diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Jadi pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan yang mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan babi baik secara langsung atau tidak. Hal yang demikian disebut dengan istilah “istihalah”, yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang berubah sifat dan namanya. Pada enzim babi tersebut sudah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya dipakai sebagai katalisator pemisah maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.

Dalam kenyataannya di lapangan masih ditemui banyak orangtua yang memutuskan tidak mengimunisasi bayi/anaknya karena berbagai alasan di atas. Konseling dari tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk mengantisipasi semakin merebaknya isu tersebut. Tugas kami sebagai petugas kesehatan memberikan informasi yang valid, mengedukasi masyarakat. Maka kami sarankan kepada masyarakat supaya dapat mencari informasi yang shahih bukan informasi hoax, bisa berkonsultasi ke petugas kesehatan, dokter spesialis anak. Bagi yang bisa menggunakan internet bisa mencari informasi seputar imunisasi di website IDAI: www.idai.or.id dan untuk di Facebook bisa bergabung di grup GESAMUN. Apabila tetap memutuskan menolak imunisasi, kami harapkan supaya keputusan tersebut tidak mempengaruhi orang lain di sekitar dan tidak memaksa orang lain mengikutinya.

(Tulisan ini sudah dimuat http://aceh.tribunnews.com/2016/05/14/kontroversi-imunisasi  pada tanggal 14 Mei 2016)

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.