ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Minggu, 12 Maret 2017

Difteri Pada Anak


Sebulan terakhir  ini kita dikejutkan dengan berita bahwa penyakit difteri kembali menyerang anak anak di Aceh. Sebuah berita yang mengejutkan dan tentunya mengerikan bagi kita semua. Di Indonesia penyakit difteri kembali muncul sekitar tahun 2003 yaitu di daerah Bangkalan Jawa Timur yang kemudian menyebar ke hampir semua Kabupaten/Kota di Jawa Timur dan ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) oleh Gubernur pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya dilaporkan kasus difteri dari Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Kemudian pada tahun 2014, kota Padang juga melaporkan kasus difteri dan juga dinyatakan sebagai KLB. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012 mencapai 1192 kasus. Kemudian pada tahun 2015 ditemukan  252 kasus difteri dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 5 kasus sehingga CFR  difteri sebesar 1,98%. Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pasien berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Pidie Jaya.
Dan di awal tahun 2017 ini berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh kembali ditemukan kasus difteri sebanyak 18 kasus di Aceh Timur, 1 kasus (Aceh Tamiang), 4 kasus (Aceh Utara), 7 kasus (Pidie Jaya), 6 kasus (Banda Aceh), 1 kasus (Aceh Besar), 1 kasus (Lhokseumawe) dan 1 kasus lagi dari Bireuen. Dilaporkan ada 2 kasus difteri tersebut yang meninggal.
            Difteri merupakan penyakit yang sangat menular. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh obstruksi (sumbatan) laring atau karena miokarditis (komplikasi pada jantung). Bakteri penyebab penyakit ini mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menyebabkan pembengkakan tonsil (amandel) hingga menutup jalan nafas. Toksin yang dihasilkan tersebut juga bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung (miokarditis), sistem saraf (neuritis) dan ginjal (glomerulonefritis).
            Difteria ditularkan melalui kontak dengan pasien atau melalui droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat berbicara. Muntahan atau pun debu juga bisa merupakan wahana penularan penyakit ini. Kuman yang terpercik akan masuk ke mukosa di sekitar mulut kemudian akan melekat serta berkembang biak di bagian permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas dan mulai menghasilkan toksin yang akan disebarkan ke sekelilingnya. Selanjutnya akan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Berat ringannya gejala yang timbul sangat bervariasi dari tanpa gejala sampai yang berat bahkan fatal akibatnya. Faktor yang berperan adalah sistem imunitas orang yang diserang, virulensi dan kemampuan kuman membentuk toksin. Faktor yang lain adalah usia, penyakit yang sedang diderita, dan penyakit yang ada di lokasi saluran nafas atas yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas difteria (masa dimulai dari saat infeksi sampai timbul gejala) berkisar 2-6 hari dan biasanya pasien baru dibawa berobat setelah beberapa hari menderita demam.
            Tujuan pengobatan pasien difteri adalah menginaktivasi toksin kuman secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit atau komplikasi yang timbul minimal, mengurangi jumlah kuman untuk mencegah penularan dan mengobati infeksi lain yang menyertai. Pasien dirawat dalam ruang isolasi, istirahat yang cukup dan pemberian cairan serta gizi yang adekuat. Pengobatan berupa pmberian ADS (Anti Difteria Serum), juga Antibiotika diberikan selama 10 hari. Untuk keluarga atau orang yang kontak dengan penderita difteri harus diperika oleh dokter untuk menentukan apakah mereka juga menderita atau hanya karier (pembawa kuman) difteri dan mendapat pengobatan antibiotika Erythromisin selama 5 hari. Untuk anggota keluarga yang dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT (Diphteri Pertusis Tetanus), dimana apabila belum pernah mendapat imunisasi DPT, diberikan DPT tiga kali dengan interval masing masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (dilanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang) dan apabila telah lengkap imunisasi dasar (saat usia <1 1x.="" ditambah="" dpt="" imunisasi="" perlu="" span="" tahun="" ulangan="">
Himbauan kepada seluruh masyarakat agar bisa mengenali gejala awal difteri. Segera ke Puskesmas atau Rumah sakit apabila anak mengeluh nyeri tenggorokan disertai dengan suara berbunyi seperti mengorok, khususnya anak di bawah 15 tahun. 
Merebaknya kembali penyakit difteri menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana cakupan angka imunisasi saat ini di Indonesia, khususnya di Aceh? Angka cakupan imunisasi di Indonesia pada tahun 2015 yaitu 86,54 %, angka tersebut belum mencapai target renstra yaitu 91%. Dibandingkan periode tahun 2008-2011, cakupan imunisasi dasar lengkap periode tahun 2012-2015 di Indonesia mengalami penurunan. Terdapat hanya 10 provinsi yang mencapai target. Sedangkan untuk Provinsi Aceh cakupan imunisasi lengkap hanya 67,05% (termasuk ke dalam 4 provinsi dengan capaian terendah).  Berdasarkan Data dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI tahun 2016 (update sampai Mei 2016), angka kejadian difteri kembali meningkat yaitu sebesar 502 kasus dibandingkan tahun` 2014 ditemukan sebesar 394 kasus.
Berbagai hal yang diperkirakan menjadi penyebab kembali merebak berbagai penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi adalah: 1). Imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak. Vaksin DPT merupakan vaksin mati sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, sangat diperlukan pemberian imunisasi ulangan. Imunisasi DPT sebanyak 5 kali harus dipenuhi sebelum anak berusia 6 tahun. 2). Banyak dari orang tua yang tidak membawa anaknya imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal imunisasinya tiba. Kemudian terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama sekali, 3). Cakupan imunisasi gagal mencapai target, salah satu hal yang menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi di Aceh adalah karena banyak orang tua yang menolak dilakukan imunisasi pada anaknya. Mereka terprovokasi oleh kelompok anti vaksin yang secara gencar mengkampanyekan hal hal negatif tentang imunisasi baik itu berupa isu kandungan vaksin, isu haramnya dan efek vaksin bila diberikan kepada bayi dan anak. Tugas kita bersama para petugas kesehatan untuk tidak henti hentinya memberikan penyuluhan dan edukasi tentangnya pemberian imunisasi. Imunisasi bisa didapatkan gratis di Puskesmas. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. DR. Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap berbagai vaksin yang digunakan saat ini.
Sudah diterbitkan dalam Rubrik Opini Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2017/02/11/difteri-pada-anak

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.