ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Minggu, 03 Desember 2017

TANTANGAN PROGRAM IMUNISASI DI ACEH

Pada bulan Agustus 2017 lalu, dicanangkan sebagai bulan pelaksanaan imunisasi MR. Program ini dilaksanakan di Pulau Jawa sedangkan pelaksanaan di luar Pulau Jawa termasuk di Aceh akan dilakukan pada bulan Agustus 2018. Imunisasi MR (Morbili dan Rubella) merupakan program imunisasi yang baru disubsidi oleh Pemerintah. Vaksin MR ini  untuk mencegah penyakit morbili (campak) dan rubella. Vaksin MR yang digunakan telah mendapat rekomendasi dari WHO dan izin edar dari BPOM. Vaksin ini aman dan sudah digunakan di 141 negara  di dunia. Vaksin MR diberikan pada usia 9 bulan sampai 15 tahun. Vaksin ini akan menggantikan posisi vaksin campak yang pemberiannya sama yaitu usia 9 bulan, 18 bulan dan kelas 1 SD.

            Penyakit campak dan rubella merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui saluran nafas. Komplikasi yang timbul akibat penyakit campak yaitu bisa menyebabkan radang paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis) dan komplikasi pada mata bahkan kematian. Sedangkan Rubella biasanya merupakan penyakit ringan pada anak, akan tetapi bisa menulari ibu hamil pada trimester pertama (awal kehamilan) sehingga bisa menyebabkan keguguran atau menimbulkan komplikasi pada bayi yang dilahirkan berupa timbul kecacatan baik itu bocor jantung, timbul katarak dan dan ketulian. Ini disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital.
              Sebelum dilaunching vaksin MR ini, di Indonesia sudah terdapat berbagai jenis vaksin yang selama ini beredar dan diberikan dalam program imunisasi rutin di Indonesia dan bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas. Imunisasi yang dimaksud adalah Hepatitis B, Polio tetes dan suntikan, BCG, DPT Hib, Campak. Berbagai vaksin tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit Hepatitis B, polio, Tuberkulosis (TBC), Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak.
              Bagaimana pencapaian target imunisasi di Aceh? Berdasarkan data terbaru dari Seksi Surveilans dan Imunisasi P2P Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, angka cakupan imunisasi dasar lengkap di Aceh belum mencapai target. Untuk tahun 2015 angka cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) Aceh yaitu 74% sedangkan di tahun 2016 malah menunjukkan penurunan menjadi 70%. Untuk tahun 2015 masih terdapat 6 kabupaten/kota dengan angka IDL >90% masing masing adalah Kota Banda Aceh, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah dan Kota Langsa. Sedangkan di tahun 2016 hanya 3 Kabupaten/kota dengan angka IDL >90% yaitu Bener Meriah, Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tenggara. Indikator untuk menilai keberhasilan pelaksanaan imunisasi adalah UCI (Universal Child Immunization). Desa UCI adalah gambaran suatu desa dimana >80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) mendapat imunisasi dasar lengkap. Tahun 2015, capaian UCI di Aceh adalah sebesar 68% sedangkan tahun 2016 kembali menurun yaitu 65%.
            Berbagai faktor yang menyebabkan makin turunnya angka cakupan imunisasi tersebut dan menjadi tantangan bagi program imunisasi di Aceh adalah karena adanya penolakan dari masyarakat. Baik disebabkan karena ketakutan akan efek demam yang timbul pasca imunisasi ataupun efek lain yang dikhawatirkan terjadi, para orang tua yang tidak membawa anaknya imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal imunisasinya tiba, kemudian terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama sekali. Juga  berbagai info yang tidak bertanggung jawab sudah banyak menyebar ke masyarakat baik itu melalui media sosial ataupun selebaran atau bahkan berupa buku dan tabloid. Gerakan antivaksin semakin menunjukkan eksistensinya di Indonesia.
 Akibatnya penyakit yang sudah lama menghilang kembali muncul. Pada Maret 2005, dilaporkan adanya penderita Polio di Sukabumi, Jawa Barat. Kemenkes telah melakukan berbagai upaya eradikasi termasuk pelaksanaan PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Polio. PIN Polio tersebut sudah dilaksanakan tanggal 8 – 15 Maret 2016. Selain itu penyakit difteri kembali mewabah di tahun 2012. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012 mencapai 1192 kasus. Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Kasus difteri mencapai puncaknya di tahun 2017 ini, di Aceh sudah tercatat ada 77 kasus dan Aceh menjadi peringkat pertama jumlah kasus difteri terbanyak se Indonesia. Suatu “prestasi” yang menyedihkan.
              PKBI (perkumpulan keluarga Berencana Indonesia) Aceh dan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh atas dukungan UNICEF melakukan survei atas pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap program imunisasi yang dikaitkan dengan Fatwa MPU No Nomor. 3 Tahun 2015 di Lima Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie. Isi Fatwa MPU Aceh tersebut menegaskan bahwa vaksin polio tetes tidaklah haram dan boleh digunakan oleh umat Islam. Lima kabupaten yang dilakukan survey tersebut adalah wilayah dengan angka cakupan imunisasi rendah. Dari survei didapatkan beberapa gambaran yaitu: 1). Masyarakat Masih Takut Dengan Efek Samping Imunisasi, 2). Masih Adanya Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Dan Petugas  Kesehatan Yang Memprovokasi Untuk Tidak Melakukan Imunisasi, 3). Lemahnya informasi yang didapatkan, 4). Masih rendahnya Sumber Daya Manusia dan Fasilitas Kesehatan, serta 5). Berkembang Isu Vaksin haram yang Mengandung Enzim Babi.
                  Isu tentang adanya kandungan enzim babi dalam vaksin lebih mendominasi alasan penolakan tersebut. Bagaimana pendapat ulama tentang hal ini? Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. Beliau mengatakan tidak mengapa berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. DR. Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan Fatwa MUI no. 04 tahun 2016 tentang imunisasi menyebutkan bahwa: 1). Imunisasi paa dasarnya dibolehkan sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah suatu penyakit tertentu, 2). Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci, 3). Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram, 4). Imunisasi dengan vaksin haram/dan atau najis tidak dibolehkan kecuali digunakan pada kondisi darurat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci dan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal, 5). Dalam hal jika seorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya maka imunisasi hukumnya wajib, 6). Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya menimbulkan dampak yang membahayakan.
              Untuk vaksin MR yang baru beredar ini sama sekali tidak mengandung unsur babi atau yang diharamkan. Bahkan dari sekian program wajib vaksin pemerintah hanya vaksin OPV saja yang memakai enzim babi sebagai katalisator (enzim ini tidak ada dalam hasil akhir reaksi). Berkaitan hal tersebut berdasarkan fiqih ada istilah istihlak (zat terlarut dalam pelarut berjumlah besar sehingga sifat najis/haramnya menjadi hilang), istihalah (perubahan bentuk dari satu zat menjadi zat lain sehingga tidak sama dengan barang haram/najis sebelumnya). Hal tersebut berdasarkan Hadist Rasulullah,” Jika air telah mencapai dua kullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)." (HR. Daruquthni, Darimi, Hakim dan Baihaqi).
              Jadi penggunaan enzim babi hanya pada satu jenis vaksin dan itupun tidak ditemukan lagi pada hasil akhirnya akan tetapi informasi yang menyebar adalah seolah olah semua vaksin mengandung unsur babi. Informasi yang tidak benar tersebut harus kita luruskan bersama.
              Untuk pertanyaan yang menanyakan bagaimana bila sertifikat halalnya yang belum ada apakah itu haram? Dalam masalah duniawi baik berupa makanan atau obat obatan dan masalah hukum asalnya halal, kaidah mengatakan bahwa hukum asal sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya. Jadi tidak ada sertifikat halal MUI belum tentu otomatis haram. Jadi para Ibu/Bapak supaya tidak pernah ragu untuk memberikan imunisasi kepada bayi dan anaknya. Itu merupakan usaha ikhtiar kita para tua dalam upaya mencegah penyakit yang akan menyerang. Bila mencari informasi tambahan tentang vaksin dan berbagai hal seputar imunisasi sebaiknya dari sumber yang terpercaya dan bukan sumber hoax lama yang kembali dihembus di saat ada program kampanye vaksin baru. Dan bila para orang tua tetap memutuskan tidak mengimunisasi anaknya semua berpulang keputusan para orangtua akan tetapi dihimbau sebaiknya keputusan tersebut untuk diri dan keluarga saja tidak ikut serta mengajak orang lain menolak vaksin. Demikian semoga bisa dipahami!!
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2017/11/04/ini-tantangan-program-imunisasi-di-aceh

*dr. Aslinar, SpA, M. Biomed
Pengurus IDAI Aceh & IDI Aceh Besar
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.