ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Kamis, 20 September 2018

Campak dan Rubella dari Perspektif Ekonomi

Aceh saat ini menjadi satu satunya provinsi yang belum melaksanakan kembali program nasional imunisasi Measles Rubella (MR). Hal tersebut berkaitan dengan belum keluarnya instruksi dari Bapak Gubernur dan juga Fatwa MPU Aceh. Provinsi lain di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Luar Pulau Jawa lainnya yang pada awalnya juga menunda, sudah memulai kembali setelah dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 33 tahun 2018 yang membolehkan penggunaan vaksin MR. Secara lengkapnya Fatwa MUI ini tertuang pada poin tiga yang berbunyi,” Penggunaan Vaksin MR produk dari SII pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal. Kebolehan vaksin MR tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.”

Banyak pihak yang mempertanyakan tentang kondisi darurat yang dimaksud. Mengapa Aceh juga harus melaksanakan imunisasi MR ini? Apakah Aceh bisa dikatakan “darurat” Campak dan Rubella? Namun, tulisan ini tidak bermaksud mengulang jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi lebih melihat pada perspektif ekonomi dari cost yang dikeluarkan dari tingginya kasus MR tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kasus secara klinis Campak dan Rubella di Indonesia dari tahun 2014- 2017 yaitu 54.667 kasus. Data sampai bulan Juni  tahun 2018 terdapat 2160 kasus. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan serologis positif untuk Campak adalah 8581 kasus dan serologis positif untuk Rubella adalah 5005 kasus. Secara global, Indonesia menduduki peringkat keenam pada tahun 2016 sebagai negara dengan penderita Campak terbanyak di dunia setelah Mongolia, China, Congo, Nigeria dan India. Untuk Indonesia, berdasarkan pemetaan daerah risiko campak tahun 2017, terdapat 56% provinsi di Indonesia dengan kategori daerah risiko sangat tinggi. Data Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak dan Rubella tahun 2018 terjadi di 17 provinsi termasuk di Aceh.
Nah untuk Aceh bagaimana? Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh untuk kasus klinis penyakit Campak di tahun 2016 ditemukan 1588 kasus, pada tahun 2017 terdapat 1027 kasus, dan sampai bulan Juli 2018 sudah ditemukan sebanyak 1157 kasus. Berdasarkan Case Based Measles Surveilance (CBMS Percentage) Aceh tahun 2012-2017, ditemukan 221 kasus Campak dan 176 kasus Rubella. Data tersebut dengan catatan: tidak semua kabupaten/kota melapor dan tidak semua sampel diperiksa laboratorium.
Campak dan Rubella merupakan penyakit yang sangat menular dan berbahaya. Untuk penderita Campak bisa berkomplikasi menyebabkan radang paru, infeksi otak, diare dehidrasi berat, infeksi telinga dan kematian. Sedangkan Rubella, efek kepada penderita tidak terlalu berat dibandingkan dengan penderita campak, akan tetapi bila Rubella menyerang Ibu Hamil maka bisa terjadi keguguran ataupun lahir anak dengan kecacatan atau disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital (SRK). Kecacatan yang timbul ini bisa berupa penyakit jantung bawaan (bocor jantung), kerusakan jaringan otak yang bisa menyebabkan kelumpuhan ataupun retardasi mental, katarak kongenital (terdapat selaput putih di lensa mata), dan gangguan pendengaran atau tuli. Sampai tahun 2017 terdapat 2767 kasus SRK di Indonesia dan di Aceh sampai saat ini belum ada data jelas mengenai penderita SRK akan tetapi kasus SRK sudah ditemukan dan ada di sekitar kita.
Perspektif Ekonomi Campak Rubella
            Seorang penderita Campak atau Rubella membutuhkan rawatan di Rumah Sakit terutama dengan indikasi Campak dengan komplikasi ataupun Campak tanpa komplikasi tapi dengan kondisi sulit makan dan minum. Untuk seorang penderita Campak biaya yang dibutuhkan (berdasarkan standar BPJS) yaitu Campak ringan tanpa komplikasi sebesar Rp 2.680.000,-/kasus, Campak dengan radang paru sebesar Rp 12.890.700,-/kasus, Campak dengan radang otak yaitu sebesar Rp 11.719.300,-/kasus. Biaya tersebut belum termasuk biaya hidup selama penderita dirawat juga biaya untuk keluarga yang mendampingi. Termasuk juga selama rawatan, orang tua, baik Ayah atau Ibu tidak bisa bekerja mencari nafkah sebagaimana aktifitas sehari-hari dalam memenuhi ekonomi rumah tangga.
            Sedangkan untuk biaya pengobatan Cacat karena penyakit Rubella (SRK), butuh biaya yang sangat besar untuk alat bantu dengar (implan kokhlea) di telinga (tidak ditanggung BPJS), hanya biaya operasi yang ditanggung BPJS. Biaya operasi katarak kongenital, juga biaya yang dibutuhkan untu perawatan cacat seumur hidup (terapi rehabilitasi berupa terapi wicara, terapi jalan), biaya hidup selama perawatan (transport, makan) juga kerugian yang ditimbulkan karena orang tua tidak bekerja.
Untuk 3 (tiga) tahun terakhir dari kasus Campak di Aceh dengan asumsi rata-rata pengeluaran setiap kasus yang diklaim ke BPJS sekitar sebesar Rp. 7,8 juta, maka total cost yang dikeluarkan hampir mencapai Rp. 30 milyar. Angka ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga pasien dengan rata-rata durasi waktu 7 hari, baik untuk pasien rawatan tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi yang bisa menghabiskan biaya rata-rata 2 juta per keluarga. Artinya keluarga pasien akan mengeluarkan biaya mencapai Rp. 4,7 milyar selama tiga tahun tersebut, sehingga nilai ekonomi yang harus ditanggung akibat dari proses pengobatan Campak dan Rubella totalnya mencapai 34 milyar.
Nilai ekonomi yang muncul dari data tersebut belum termasuk biaya yang dikeluarkan dari kasus SRK yang secara nasional dalam lima tahun terakhir berjumlah 2.767 kasus dengan biaya perawatan, operasi, terapi dan lain-lain yang membutuhkan komponen biaya berupa Alat bantu dengar implant sebesar 327 – Rp. 370 juta, Terapi wicara Rp. 74 juta, Katarak Rp. 22 juta, dan Rehabilitasi sebesar Rp. 2,6 juta. Sehingga total biaya yang dikeluarkan oleh pasien SRK per pasien adalah sebesar Rp. 619 juta. Bisa kita bayangkan, Pemerintah harus merogoh kocek tidak kurang dari Rp 1,7 triliun untuk melakukan pengobatan dan rehabilitasi khusus untuk penderita SRK, belum lagi ditambah dengan kasus kasus penyakit yang mewabah yang dikarenakan rendahnya cakupan imunisasi misalnya seperti difteri yang sejak tahun 2017 menjadi masalah di Aceh bahkan sampai sekarang.
Untuk Aceh, hingga saat ini kasus SRK tidak bisa dihitung karena penulis belum mendapatkan informasi dan data riil mengenai jumlah penderita SRK. Tapi yang jelas kasusnya ada.  Dengan asumsi besaran biaya pada kasus SRK di atas, sekalipun terpapar salah satu saja kelainannya, masih sangat tinggi bagi Aceh untuk dijadikan beban biaya di tengah-tengah ekonomi Aceh yang hingga saat ini masih tumbuh lambat dan terkesan tidak menggeliat.
Informasi di atas menunjukkan betapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak pasien. Dan sejatinya, semua biaya tersebut dapat dihindari melalui tindakan preventif berupa pemberian imunisasi MR kepada seluruh anak-anak yang ditargetkan. Biaya pengadaan vaksin tersebut, jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan dan rehabilitasi. Selain itu, pemerintah dapat mengalokasikan biaya tersebut untuk kebutuhan lain, dari pihak pasien (masyarakat) juga bisa menambah tabungan untuk menjaga keseimbangan ekonomi keluarga.
Tidak terlaksananya program Imunisasi MR ini tentu saja berdampak pada tidak tercapainya target cakupan imunisasi sebesar 95%, dan juga akan mengukuhkan kecemasan kita karena kemungkinan mewabahnya kembali penyakit Campak dan Rubella serta meningkatnya angka kejadian SRK di kemudian hari. Disamping itu, tentu saja berpengaruh terhadap besaran nilai ekonomi dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Menjelang garis finish dana otsus, Aceh harus mulai serius memikirkan efisiensi hingga ke depan kita tidak terjebak pada frasa “darurat ekonomi”.

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.