ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Minggu, 18 Desember 2016

Infeksi HIV/AIDS Pada Anak

Infeksi HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun sebagai akibat dari infeksi HIV. Infeksi HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual dan pada anak ditemukan tahun 1983. Sedangkan di Indonesia kasus HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1987 yaitu pada pasien dewasa di Bali.
Data terbaru dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI secara kumulatif dari 1 April 1987 sampai 31 Maret 2016, total pasien dengan infeksi HIV adalah 191.073 kasus dan penderita AIDS adalah 77.940 kasus. Untuk Provinsi Aceh didapatkan 253 kasus HIV dan 276 kasus AIDS (prevalensi 6.14 per 100.000 penduduk). Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah merenggut nyawa lebih dari 25 juta orang di dunia. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS dan 500.000 di antaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Berdasarkan Data Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016 oleh Kementerian Kesehatan RI (2013) bahwa total penderita AIDS pada anak yaitu 16.884 kasus atau sekitar 2,77% dari keseluruhan kasus AIDS. Jumlah penderita infeksi HIV baru pada anak yaitu 5,7% (4361 kasus) dari total kasus baru dan jumlah kematian anak akibat AIDS yaitu 1839 orang atau sebesar 6,7% dari total jumlah penderita yang meninggal. Terjadi peningkatan setiap tahunnya.
            Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub populasi yang berperilaku risiko tinggi tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya bahkan anaknya. Pada akhir tahun 2015 terjadi penularan secara kumulatif pada lebih 38.500 anak yang dilahirkan dari Ibu yang terinfeksi HIV. Para Ibu ini sebagian besar tertular dari suaminya.
            Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh penderita dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV. Bila virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia, maka ia akan berusaha menempel pada sel dan masuk ke dalamnya. Sel yang dipilih virus ini terutama adalah sel limfosit CD4, yaitu salah satu subtipe sel limfosit dalam tubuh kita yang bertugas mengatur respon imun tubuh terhadap berbagai serangan infeksi dari luar. Setelah berhasil menempel, dengan senjatanya virus ini akan menyatukan kapsul luarnya dengan dinding sel host/inang dan intinya masuk ke dalam badan sel inangnya. Bila inti sel inang ini membelah dan mempersiapkan diri untuk membuat cloning sel baru, maka secara langsung virus HIV ikut membelah. Dalam proses pembelahan inti tersebut kemudian diproduksi cetakan perintah genetik dalam bentuk lembaran RNA yang dikeluarkan ke sitoplasma kembali. Cetakan ini kemudian dengan aktif mengumpulkan materi protein dari sitoplasma untuk membuat cloning sel baru dan virus baru. Apabila lembaran inti virus HIV baru sudah lengkap terbentuk, maka lembaran ini akan berusaha keluar dari badan sel inang yang sudah didudukinya sehingga sel inang menjadi rusak. Baik pada orang dewasa dengan sistim imun yang sudah mapan maupun pada anak, infeksi HIV menyebabkan sel sasarannya (limfosit CD4) rusak sehingga pada saat jumlahnya sedemikian rendah maka sistim imun tubuh menjadi tidak dapat berfungsi untuk menghalau infeksi yang ringan sekalipun. Tidak mengherankan bila pada penderita infeksi HIV, infeksi jamur Candida yang biasanya terjadi lokal dan ringan malah dapat menyebabkan sakit berat. Untuk memudahkan, dibuat peringkat berdasarkan gejala klinisnya yang dikenal dengan stadium I yang ringan dan hampir tanpa gejala; stadium II yang umumnya muncul dalam bentuk gangguan di kulit; stadium III dengan aneka infeksi oportunistik dan akhirnya stadium IV yang kita kenal sebagai AIDS.
            Infeksi HIV pada dewasa memperlihatkan pola umum perjalanan penyakit dengan berbagai variasi individual. Pola tersebut juga sama terjadi pada anak. Secara khusus infeksi HIV pada anak dapat terjadi secara parenteral melalui plasenta atau melalui permukaan mukosa saat persalinan, menyusui, dan pajanan pada mukosa rektum atau vagina.  Perkembangbiakan virus terjadi dalam waktu yang cepat dalam masa 2-6 minggu setelah terpajan yang kemudian menimbulkan gejala klinis berupa demam, sakit kepala, lesu, ruam kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Masa inkubasi (masa dimulai saat masuknya virus sampai timbul gejala) berkisar antara 17-35 hari dan gejala klinisnya berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
            Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi, mulai dari tanpa menunjukkan gejala (asimptomatik) sampai penyakit berat berupa AIDS. Pada anak infeksi HIV terutama terjadi pada usia dini disebabkan karena transmisi vertikal dari Ibu kepada anaknya baik selama masa kehamilan, saat kelahiran ataupun melalui proses menyusui. Sebanyak 50% kasus HIV pada anak terdeteksi pada usia kurang dari satu tahun, 82% kurang dari 3 tahun. Namun ada juga kasus bayi yang terinfeksi secara vertikal namun belum memperlihatkan gejala sampai usia 10 tahun.
Gejala yang terjadi adalah akibat infeksi mikroorganisme oportunistik yang ada di lingkungan anak. Infeksi oportunistik itu adalah suatu infeksi yang pada kondisi normal tidak menyebabkan kelainan akan tetapi menjadi berat bila kuman tersebut menyerang pasien dengan infeksi HIV. Manifestasi berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, demam berulang, pembesaran hati. Anak mudah terkena penyakit seperti infeksi jamur pada mulut, radang paru karena pneumocystis carinii, tuberkulosis dan kelainan pada otak juga diare berulang. Kelainan yang terjadi bisa lebih lama, lebih berat dan berulang.
            Dengan semakin banyaknya perempuan di usia produktif yang menderita infeksi HIV, maka risiko terjadi penularan dari ibu kepada janinnya semakin tinggi dan ini tentu saja akan meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Dibutuhkan tindakan pencegahan dan pengobatan yang serius bagi yang sudah terdeteksi menderita infeksi HIV/AIDS. Tata laksana HIV/AIDS pada anak memerlukan pendekatan multi disiplin ilmu seperti dokter spesialis anak, perawat, psikiater, psikolog, dokter gigi, pekerja sosial juga lembaga swadaya masyarakat. Sebelum memulai terapi obat antiretroviral (ARV), hal utama yang harus diperhatikan adalah adanya kerjasama antara orang tua atau pengasuh karena mereka harus memahami tujuan pengobatan, mematuhi program pengobatan dan kontrol yang teratur. Pemberian ARV hanya akan dimulai bila keluarga menyatakan siap dan mau patuh. Bila keluarga tidak patuh dalam pengawasan pemberian ARV kepada anaknya maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan pengobatan.
Pada penanganan bayi baru lahir dari Ibu penderita HIV dimulai dengan menerapkan kewaspadaan universal, pemberian ARV kepada bayi, pemilihan jenis nutrisi bayi, imunisasi, pencegahan infeksi oportunistik dan pemantauan status tumbuh kembang serta penentuan status HIV bayi. Rekomendasi WHO tahun 2016 tentang pemberian makanan pada bayi baru lahir dari ibu HIV adalah boleh memberikan ASI selama 12 bulan atau bisa melanjutkan sampai 2 tahun selama si Ibu mengkonsumsi ARV.
Hal utama yang perlu dilakukan terhadap makin merebaknya kasus HIV/AIDS ini adalah pencegahan. Pencegahan yang dimaksud adalah tidak melakukan hubungan seks bebas. Berganti ganti pasangan seksual sangat berisiko tertular virus HIV. Pencegahan lain yaitu dengan tidak terlibat dalam penyalahgunaan narkoba (penggunaan jarum suntik bersama, pemakaian jarum tatto bersama), serta skrining transfusi darah dari virus HIV.
Syariat Islam merupakan benteng dan solusi utama untuk pencegahan kasus HIV/AIDS ini. Islam menyediakan solusi dalam permasalahan yang ada dalam Al Qur’an dan hadits. Solusi ini bisa dijalankan siapapun untuk jauh dari HIV/AIDS dan dampak buruk selanjutnya. Solusi preventif berupa: Islam mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berkhalwat, Islam mengharamkan perzinaan, pornoaksi pornografi dan segala yang terkait dengannya, Islam mengharamkan perilaku seks yang menyimpang termasuk iklan kondom yang memfasilitasinya, Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat. Peran orang tua juga sangat besar dalam memberikan pendidikan moral dan akhlak bagi anggota keluarganya.
artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia tanggal 3 Desember 2016 http://aceh.tribunnews.com/2016/12/03/hivaids-pada-anak

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.