ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 17 Maret 2018

Over Diagnosis Difteri??


Sejak awal tahun 2017 penyakit difteri kembali mewabah. Sepanjang tahun tersebut ditemukan hampir 100 kasus di Aceh dan masih terus terjadi sampai sekarang. Di bulan Januari 2018 ini saja sudah ditemukan 31 kasus difteri. Tentu ini merupakan hal yang sangat mengerikan bagi kita semua karena berkaitan dengan sifat penularan difteri yang sangat cepat juga pengobatan yang lama butuh isolasi serta komplikasi yang disebabkannya bahkan bisa berakhir dengan kematian.
Selama ini Dinas Kesehatan, para dokter umum, dokter spesialis anak juga berbagai organisasi terkait baik itu Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) turut aktif berperan memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang penyakit difteri tersebut. Bahkan sosialisasi di berbagai media sosial juga berlanjut. Hampir sebagian besar masyarakat menjadi tahu apa itu difteri, bagaimana mencegahnya dan apa saja tanda serta gejalanya. Kepanikan juga mulai terasa (terjadi). Yang sebelumnya banyak para orang tua yang tidak mengimunisasi anaknya karena ragu (akibat berbagai isu yang tidak bertanggung jawab) atau tidak sempat karena kesibukan, akhirnya membawa anaknya untuk imunisasi.
Kondisi ini tentu menjadi kabar baik bagi dunia kesehatan dengan bertambahnya angka cakupan imunisasi khususnya DPT. Akan tetapi tetap saja (lagi lagi) ada kelompok yang tetap menolak dengan ngotot untuk mengimunisasi anaknya dengan membawa alasan bahwa sakit itu sudah takdir jadi tidak perlu pencegahan dengan vaksin cukup berikan ASI,  madu, herbal atau air nenas saja. Atau tetap dengan menghembuskan isu haramnya kandungan vaksin walaupun para ahli sudah dengan berbuih membeberkan isi kandungan vaksin yang bersih dari yang dituduhkan. Dan yang lebih parah lagi ada antivaks yang menyebarkan isu tentang “proyek vaksin”. Bahwa penyakit difteri tersebut sengaja dihembuskan isunya supaya vaksin laku keras. Sungguh tuduhan yang penuh fitnah. Mau bukti apalagi kalau difteri itu memang terjadi, sudah banyak korban yang berjatuhan karena penyakit difteri ini. Apa harus mengenai keluarga kita sendiri baru kita akan sadar tentang pentingnya vaksin tersebut? Sangat berat memang berhadapan dengan mereka ini, istilahnya kalau sudah kadung benci, apapun alasan tidak akan diterima, selalu mencari pembenaran diri.
Kehadiran para antivaksin tersebut tidak pernah menyurutkan langkah kami para praktisi kesehatan untuk terus mengedukasi. Karena sejatinya edukasi adalah tugas kita semua.
Penyakit Difteri sangat menular, disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh obstruksi (sumbatan) laring atau karena miokarditis (komplikasi pada jantung). Bakteri penyebab penyakit ini mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menyebabkan pembengkakan tonsil (amandel) hingga menutup jalan nafas. Toksin yang dihasilkan tersebut juga bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung (miokarditis), sistem saraf (neuritis) dan ginjal (glomerulonefritis).
            Difteria ditularkan melalui kontak dengan pasien atau melalui droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat berbicara. Muntahan atau pun debu juga bisa merupakan media penularannya. Kuman yang terpercik akan masuk ke mukosa di sekitar mulut kemudian akan melekat serta berkembang biak di bagian permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas dan mulai menghasilkan toksin yang akan disebarkan ke sekelilingnya. Selanjutnya akan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Berat ringannya gejala yang timbul sangat bervariasi dari tanpa gejala sampai yang berat bahkan fatal akibatnya. Faktor yang berperan adalah sistem imunitas orang yang diserang, virulensi dan kemampuan kuman membentuk toksin. Faktor yang lain adalah usia, penyakit yang sedang diderita, dan penyakit yang ada di lokasi saluran nafas atas yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas difteria (masa dimulai dari saat infeksi sampai timbul gejala) berkisar 2-6 hari.
            Mendiagnosis suatu difteri tentu harus dilakukan oleh seorang dokter. Setelah ditemukan gejala berupa demam, nyeri menelan, suara nafas berbunyi (stridor) dan terdapatnya selaput (pseudomembran) bewarna putih keabuan di bagian tenggorokan (amandel/tonsil atau di faring), maka dokter akan menentukan apakah itu suatu difteri atau bukan. Anamnesis tetap perlu ditanyakan secara teliti termasuk juga riwayat imunisasi. Dan ternyata ditemukan bahwa data Kemenkes sebanyak 66% kasus tidak dimunisasi sama sekali, 31% dengan imunisasi tidak lengkap dan hanya 3% yang diimunisasi. Untuk Aceh, menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, dari kasus yang ditemukan, sebanyak 91 % tidak diimunisasi, 9 % imunisasi tidak lengkap.
            Apabila gejala dan tanda sudah terpenuhi serta dari pemeriksaan fisik sudah sesuai maka diagnosis difteri bisa ditegakkan. Penegakan diagnosis difteri ada beberapa, terbagi atas: 1). Suspected Difteria dimana tidak ditemukan demam atau hanya demam subfebris (ringan), gejala nyeri tenggorokan, sukar menelan, dan ada pseudomembran yang berdarah bila dilepaskan. 2). Probable Difteria yaitu kasus dengan suspected difteria disertai dengan adanya salah satu dari kriteria berikut yaitu kontak <2 3="" 4="" 6="" ada="" adanya="" atau="" bahkan="" bengkak="" berlangsung="" biakan="" bisa="" bulan.="" bullneck="" bunyi="" carrier="" confirmed="" corynebacterium="" dan="" dengan="" di="" diberikan="" difteri="" difteria="" diphteria="" disertai="" elek="" gagal="" ginjal="" hasil="" imunisasi="" ini="" jantung="" karena="" ke="" konfirmasi="" kulit="" kultur="" kuman="" laboratorium="" leher="" lengkap="" masa="" mengandung="" meninggal.="" menularkan="" minggu="" miokarditis="" nafas="" namun="" o:p="" pada="" pcr="" penderita="" pengobatan="" penularan="" perdarahan="" perlu="" positif="" probable="" riwayat="" s="" sakit="" sampai="" sekitar="" seseorang="" stridor="" tenggorokan="" test="" tetap="" tidak="" toksisitas.="" uji="" untuk="" yaitu="" yang="">
            Pemeriksaan laboratorium yaitu mengambil swab (apusan) dari selaput putih atau pseudomembran di tenggorokan. Tindakan ini memerlukan keahlian khusus berupa tenaga kesehatan yang sudah dilatih untuk mengerjakannya, didukung oleh peralatan dan alat laboratorium dan juga reagen. Pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan di Aceh, harus dikirim sampelnya ke Pulau Jawa tepatnya di Jakarta. Hasilnya akan keluar dalam waktu lebih kurang dua minggu.
            Jadi apabila pasien datang dengan curiga ke arah difteri (suspected) maka harus dirawat di RS dan diperlakukan sebagai pasien difteri. Pengobatan tanpa dan tidak boleh menunggu hasil kultur swab tenggoroknya. Penatalaksanaan yang diberikan bisa hanya berdasarkan kecurigaan klinis dan pemeriksaan fisik, dikarenakan pertimbangan waktu yang lama menunggu hasil kultur dan besarnya risiko bila tidak langsung diobati. Sekalipun nantinya hasil kultur yang keluar adalah negatif, tatalaksana tetap dilakukan asalkan kondisi klinis sesuai mengarah ke penyakit difteri.
            Perawatan pasien difteri dilakukan di ruang isolasi, dirawat selama 10-14 hari dengan pemberian ADS (Anti Difteria Serum), obat yang sangat mahal dengan harga jutaan per botol (vial) akan tetapi sekarang bisa didapatkan gratis oleh pasien. Kemudian pemberian suntikan antibiotika Penisilin Prokain selama 10 hari yang disuntikkan di paha/bokong, pengobatan suportif dan terapi terhadap komplikasi yang ditemukan. Dilanjutkan dengan pemberian pengobatan terhadap keluarga atau siapapun yang kontak dengan pasien difteri ini.
            Jadi beginilah cara seorang dokter anak mendiagnosis suatu penyakit difteri bukan dengan asal diagnosis akan tetapi berdasarkan ilmu yang berbasis bukti ilmiah. Jadi tidak ada yang namanya overdiagnosis difteri, walaupun nanti hasil kultur apusan tenggoroknya keluar hasil negatif. Ini yang perlu dipahami oleh kita semua sehingga tidak ada anggota keluarga yang merasa dikecewakan dengan tindakan pengobatan yang sudah diambil oleh dokter.
            Saat pasien dibolehkan pulang artinya sudah bersih dari kuman yang ada di tenggorokannya dan tidak akan menularkan lagi kepada siapapun di sekitar. Jadi kepada masyarakat supaya tidak menjauhi pasien difteri yang sudah pulang ke rumah termasuk jangan mengucilkan pasien dan keluarganya. Karena bila kita berada di posisi tersebut tentu kita juga tidak mau diperlakukan demikian kan.. Tulisan ini ssudah dimuat di Harian Serambi Indonesia di link ini...

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.