ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 18 Mei 2019

“Nasib Sedih” Penderita Difteri


Bulan April 2019 kemarin kita dikejutkan lagi dengan berita di media massa bahwa kembali ada penderita difteri di salah satu kabupaten di Aceh. Si anak didiagnosis dengan penyakit difteri dan harus menjalani perawatan selama dua minggu. Dari hasil pemeriksaan swab (apusan) tenggorok ditemukan hasil positif difteri. Dan ternyata dengan riwayat imunisasi tidak ada sama sekali. Lagi lagi kejadian ini membuat sedih, ya sangat sedih. Penyakit yang seharusnya bisa kita cegah dengan imunisasi tapi masih saja terjadi dan terjadi lagi di nanggroe tersayang ini.

            Hal yang lebih menyedihkan lagi yang menimpa penderita difteri adalah orang tua si pasien bahkan bisa saja kehilangan pekerjaannya. Selama perawatan anaknya yaitu 14 hari, Ayah dan Ibu harus menemani si anak yang dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit. Berarti selama 2 minggu tidak bekerja sama sekali. Selain kemungkinan kehilangan pekerjaan, di lingkungan tempat tinggal juga sekolah si anak, mereka dikucilkan dan dilarang bergaul dengan teman temannya bahkan ada yang harus pindah sekolah karenanya. Mereka dianggap bisa menularkan kepada orang lain di sekitar. Kejadian begini (pengucilan), sudah terjadi berulang kali. Beginikah kita memperlakukan pasien post rawatan difteri? Bagaimana sebenarnya status pasien setelah menderita difteri, apakah mereka sudah bisa dinyatakan sembuh total?
            Nah, bisa saja hal demikian terjadi karena ketidaktahuan kita tentang penyakit difteri ini. Karena ketidaktahuan para guru, ketidaktahuan para orangtua siswa lain juga ketidaktahuan masyarakat, karena ketakutan mereka bakal tertular. Maka bertanyalah kepada ahlinya supaya kita tidak salah langkah, tidak salah dalam memperlakukan orang lain serta tidak merugikan orang tersebut.
Tingginya Kasus Difteri di Aceh
Di Aceh, tahun 2018 terdapat sebanyak 198 kasus difteri. Dari 198 kasus difteri yang ditemukan tersebut, hampir sebagian besar tidak ada imunisasi sama sekali, yaitu sebanyak 82%. Selebihnya ditemukan sebanyak 17% dengan riwayat imunisasi 3x, dan 1% dengan riwayat imunisasi 2x. Hal ini juga senada dengan data tahun sebelumnya yaitu di tahun 2017, dari 113 kasus difteri sebanyak 94% diantaranya tanpa imunisasi sama sekali. Sebanyak delapan orang meninggal karena komplikasi penyakit ini masing masing 3 orang di tahun 2018 dan 5 orang di tahun 2018. Sampai April 2019 ini, penderita difteri sudah mencapai 27 orang. Padahal berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010, suatu wilayah dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa/wabah) difteri jika ditemukan minimal 1 suspek difteri. Nah, apakabar Aceh yang sudah punya ratusan kasus???
            Penyakit difteri tersebar di seluruh dunia. Tercatat ada 7217 kasus pada tahun 2014 dan 98% di antaranya berasala dari negara negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Di Indonesia, jumlah kasus difteri yang dilaporkan yaitu 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari kasus SEAR), menurun kemudian menjadi 430 kasus pada tahun 2014. Pada tahun 2015 sebanyak 529 kasus dan tahun 2016 terdapat 591 kasus. Akan tetapi kemudian kasusnya kembali meningkat pesat di tahun 2017 yaitu sebanyak 954 kasus.
Seorang pasien didiagnosis sebagai difteri melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter. Setelah ditemukan gejala berupa demam, nyeri menelan, suara nafas berbunyi (stridor) dan terdapatnya selaput (pseudomembran) bewarna putih keabuan di bagian tenggorokan (amandel/tonsil atau di faring), maka dokter akan menentukan apakah itu suatu difteri atau bukan. Anamnesis tetap perlu ditanyakan secara teliti termasuk juga riwayat imunisasi.
            Apabila pasien tidak diobati dan tidak mempunyai kekebalan (tanpa imunisasi), angka kematian adalah sekitar 50%, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%. Angka kematian akibat difteri rata rata  5-10% pada anak usia kurang dari 5 tahun dan 20% pada dewasa (di atas 40 tahun). Pasien difteria bisa menularkan penyakitnya ke orang lain melalui kontak langsung atau melalui droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat berbicara. Muntahan atau pun debu juga bisa merupakan media penularannya.
Perawatan pasien difteri dilakukan di ruang isolasi, dirawat selama 10-14 hari dengan pemberian ADS (Anti Difteria Serum), obat yang sangat mahal dengan harga jutaan per botol (vial) akan tetapi sekarang bisa didapatkan gratis oleh pasien. Kemudian pemberian suntikan antibiotika Penisilin Prokain selama 10 hari yang disuntikkan di paha/bokong, diberikan juga pengobatan suportif dan terapi terhadap komplikasi yang ditemukan.
            Tujuan pengobatan pasien difteri adalah untuk menginaktivasi toksin kuman secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit atau komplikasi yang timbul minimal, mengurangi jumlah kuman untuk mencegah penularan dan mengobati infeksi lain yang menyertai. Pasien dirawat dalam ruang isolasi (hanya ditemani orang tua, tanpa ada kunjungan dari siapapun kecuali petugas medis RS saja), istirahat yang cukup dan pemberian cairan serta gizi yang adekuat.
Untuk keluarga atau orang yang kontak dengan penderita difteri harus diperiksa oleh dokter untuk menentukan apakah mereka juga menderita atau hanya karier (pembawa kuman) difteri dan mendapat pengobatan antibiotika Erythromisin selama 5 hari. Seluruh kontak (dalam 7 hari terakhir) ditelusuri, terutama kontak terdekat: keluarga, teman sekolah, teman bermain, teman kerja, petugas kesehatan di lapangan/RS, dilakukan pemeriksaan klinik dan hapusan hidung dan tenggorok. Jika klinis tidak ada, tapi kultur hapusan dinyatakan hasilnya positif (+) maka obat Erythromisin diberikan sedikitnya 5 hari, lalu dilakukan kultur ulang. Jika ditemukan gejala klinis, maka didiagnosis sebagai difteri dan pasien dirawat di RS serta diobati sebagai difteri.
Untuk anggota keluarga yang dinyatakan sehat, segera diberikan imunisasi DPT (Diphteri Pertusis Tetanus), dimana apabila belum pernah mendapat imunisasi DPT, diberikan DPT tiga kali dengan interval masing masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (dilanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang) dan apabila telah lengkap imunisasi dasar (saat usia <1 1x.="" ditambah="" dpt="" imunisasi="" perlu="" span="" tahun="" ulangan="">
Jangan Kucilkan Mereka
Nah, bagaimana dengan status kesehatan pasien pasca dirawat? Apabila klinis penderita setelah terapi membaik (selesai masa pengobatan 10-14 hari), maka bisa dipulangkan tanpa menunggu hasil kultur laboratorium. Kepada pasien ini disarankan untuk diberikan imunisasi DPT setelah 4-6 minggu dari waktu pemberian ADS serta kemudian diusahakan untuk melengkapi imunisasi sebelumnya.
            Dengan demikian, pasien yang sudah selesai pengobatannya tidak bisa menularkan lagi ke lingkungan sekitarnya untuk saat tersebut, dalam arti dia tidak lagi mengandung kuman difteri di tenggorokannya. Sebenarnya setelah pengobatan selama 2 x 24 jam, si penderita sudah tidak bersifat infeksius lagi (tidak menularkan lagi) tapi tetap mesti dirawat lama karena untuk mengevaluasi komplikasi yang mungkin terjadi dan menyelesaikan pemberian antibiotika.
Jadi jangan pernah kucilkan mereka, jangan pernah hina mereka. Penderita difteri begitu dibolehkan keluar dari RS, maka mereka bisa bergaul dan beraktivitas seperti anak lainnya (bermain juga bersekolah dan lain lain). Termasuk juga keluarganya bebas beraktivitas kembali di masyarakat dan lingkungan pekerjaannya. Bisa jadi ketidaktahuan dan penerimaan informasi yang salah yang menyebabkan orang tua tidak mengizinkan anaknya diimunisasi sehingga kemudian berisiko menderita sakit tersebut.
Yang perlu kita lakukan adalah mulai dari sekarang terus lindungi anak anak kita dari kemungkinan tertular penyakit mematikan tersebut. Pencegahan yang utama adalah dengan imunisasi difteri yaitu dilakukan sebanyak 7x untuk bisa memiliki kekebalan penuh terhadap difteri. Masing masing pada usia 2, 3, 4, 18 bulan, saat kelas 1, 2, dan 5 Sekolah Dasar. Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan imunisasi rutin (baik dasar maupun lanjutan) yang merata dan tinggi. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di setiap kabupaten’kota dan tetap dipertahankan. Nah, mampukah kita? Mampukah Aceh??????

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.