ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 05 Januari 2019

Aceh Lumbung Difteri

Apakah kita semua masyarakat Aceh masih ingat dengan difteri? Sudah pahamkah dengan penyakit mematikan tersebut? Aceh, daerah tempat tinggal kita ini dilanda wabah penyakit difteri sejak tahun 2012. Puncak kasus yang sangat banyak mulai ada di tahun 2017 dan pada saat itu kita sudah melakukan ORI (Outbreak Response Immunization) yaitu suatu respon pemberian imunisasi massal saat terjadinya wabah. ORI tersebut yang dilakukan sebanyak 3x di wilayah provinsi Aceh yang ditemukan kasus difteri. Pada saat tersebut selama beberapa bulan difteri menjadi trending topic di media massa termasuk media cetak. Kepanikan juga terasa (terjadi). Yang sebelumnya banyak para orang tua yang tidak mengimunisasi anaknya karena ragu (akibat berbagai isu yang tidak bertanggung jawab) atau tidak sempat karena kesibukan, akhirnya membawa anaknya untuk imunisasi.
Tapi kemudian mulai sepi pemberitaan. Apakah kasusnya sudah menurun atau malah tidak ada? Nol besar jawabannya.. Kasus difteri masih terus terjadi dan malah menunjukkan peningkatan. Dan masih saja ada masyarakat yang tidak paham apakah itu difteri. Kembali enggan membawa anaknya imunisasi dengan berbagai alasan. Baru mulai “ngeh” bila sudah mengenai anggota keluarga sendiri. Apakah mesti jatuh korban dulu di keluarga kita baru akan kita mau membawa anak anak imunisasi?
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh obstruksi (sumbatan) laring atau karena miokarditis (komplikasi pada jantung). Bakteri penyebab akan mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menyebabkan pembengkakan tonsil (amandel) hingga menutup jalan nafas. Toksin yang dihasilkan tersebut juga bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung (miokarditis), sistem saraf (neuritis) dan ginjal (glomerulonefritis).
Penyakit difteria bisa menular melalui kontak dengan pasien atau melalui droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat berbicara. Muntahan atau pun debu juga bisa merupakan wahana penularan penyakit ini. Kuman yang terpercik akan masuk ke mukosa di sekitar mulut kemudian akan melekat serta berkembang biak di bagian permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas dan mulai menghasilkan toksin yang akan disebarkan ke sekelilingnya dan akan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Berat ringannya gejala yang timbul sangat bervariasi dari tanpa gejala sampai yang berat bahkan fatal akibatnya. Faktor yang berperan adalah sistem imunitas orang yang diserang, virulensi dan kemampuan kuman membentuk toksin. Faktor yang lain adalah usia, penyakit yang sedang diderita, dan penyakit yang ada di lokasi saluran nafas atas yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas difteria (masa dimulai dari saat infeksi sampai timbul gejala) berkisar 2-6 hari dan biasanya pasien baru dibawa berobat setelah beberapa hari menderita demam.
Proteksi atau perlindungan supaya terhindar dari penyakit difteri adalah harus mempunyai imunitas terhadap kuman tersebut. Imunitas tersebut hanya bisa didapat dari vaksin DPT. Vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) merupakan imunisasi rutin yang diberikan masing masing pada usia 2, 3, 4, 18 bulan. Kemudian dilanjutkan pemberian booster (dosis penguat) pada saat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) yaitu vaksin DT dan pemberian vaksin Td untuk anak kelas 2 dan 5 SD. Pemberian imunisasi pada anak sekolah ini disebut dengan kegiatan BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Jadi dibutuhkan sebanyak 7 dosis vaksin tersebut untuk bisa memberikan perlindungan terhadap serangan kuman penyebab difteri ini. Program imunisasi tersebut sudah lama dijalankan oleh kementerian Kesehatan dan sudah menjadi program imunisasi rutin nasional.
Berbagai faktor yang menyebabkan makin turunnya angka cakupan imunisasi tersebut dan menjadi tantangan bagi program imunisasi di Aceh adalah karena adanya penolakan dari masyarakat. Baik disebabkan karena ketakutan akan efek demam yang timbul pasca imunisasi ataupun efek lain yang dikhawatirkan terjadi, para orang tua yang tidak membawa anaknya imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal imunisasinya tiba, kemudian terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama sekali. Juga  berbagai info yang tidak bertanggung jawab sudah banyak menyebar ke masyarakat baik itu melalui media sosial ataupun selebaran atau bahkan berupa buku dan tabloid.
              Di tulisan sebelumnya penulis sudah pernah mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan semakin rendahnya angka cakupan imunisasi di Aceh. Beberapa alasan tersebut merupakan hasil survey dua lembaga di Aceh (PKBI dan Unicef). Dari survei didapatkan beberapa gambaran yaitu: 1). Masyarakat masih takut dengan efek samping imunisasi, 2). Masih adanya tokoh agama, tokoh masyarakat, dan petugas  kesehatan yang memprovokasi untuk tidak melakukan Imunisasi, 3). Lemahnya informasi yang didapatkan, 4). Masih rendahnya sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan, serta 5). Berkembang isu vaksin haram yang mengandung enzim babi. Selain itu hal tersebut juga disokong oleh gerakan antivaksin yang semakin menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Akibatnya penyakit yang sudah lama menghilang kembali muncul.
Di Indonesia penyakit difteri kembali muncul sekitar tahun 2003 yaitu di daerah Bangkalan Jawa Timur yang kemudian menyebar ke hampir semua Kabupaten/Kota di Jawa Timur dan ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) oleh Gubernur Jatim pada tahun 2011. Dari tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012 mencapai 1192 kasus. Sedangkan di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun 2012 sampai tahun 2015 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pada tahun 2016 terdapat 11 kasus difteri dan 4 orang meninggal. Kemudian sepanjang tahun 2017 ditemukan hampir 113 kasus di Aceh, 5 di antaranya meninggal dan masih terus terjadi sampai sekarang. Data terbaru dari dari Seksi Surveilans dan Imunisasi P2P Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, sampai Bulan Desember 2018 ditemukan sebanyak 198 kasus dan terdapat 3 orang meninggal. Sungguh angka kasus yang sangat fantastis. Ya fantastis mengerikan tentunya. Aceh menjadi “lumbung” difteri.
Dari 198 kasus difteri yang ditemukan tersebut, hampir sebagian besar tidak ada imunisasi sama sekali, yaitu sebanyak 82%. Selebihnya ditemukan sebanyak 17% dengan riwayat imunisasi 3x, dan 1% dengan riwayat imunisasi 2x. Hal ini juga senada dengan data tahun sebelumnya yaitu di tahun 2017, dari 113 kasus difteri sebanyak 94% diantaranya tanpa imunisasi sama sekali.
Nah, untuk tahun ini capaian imunisasi menjadi semakin rendah karena dipicu oleh adanya penolakan vaksin MR oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Dan imbas dari penolakan tersebut akhirnya masyarakat juga ikut menolak jenis vaksin yang lain, dengan ikut mengaitkan tentang kandungan enzim babi pada vaksin ini juga. Hal tersebut jelas terlihat saat kegiatan BIAS yang dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2018 kemarin. Sebagian besar para orang tua tidak memberikan izin anaknya diberikan suntikan DT/Td. Kalau sudah seperti ini, bisa kita bayangkan bagaimana imunitas anak anak kita terhadap serangan bakteri difteri ini. Sangat mengharapkan sekali upaya keras dari Pemerintah Aceh untuk lebih memperhatikan tentang rendahnya capaian imunisasi ini dikarenakan capaian imunisasi rendah akan berbanding lurus dengan timbulnya berbagai penyakit yang seharusnya bisa dicegah oleh imunisasi. Harus terlibat semua stakeholder yang berkaitan dengan hal tersebut bukan hanya Dinas Kesehatan saja. Bila tidak, maka wabah difteri di Aceh akan terus terjadi dan korban bisa saja semakin banyak berjatuhan. Semoga tidak terjadi…

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.