ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 23 Maret 2019

Kapan Aceh Bebas TB?


Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati pada 24 Maret setiap tahun, dirancang untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa TBC sampai saat ini masih menjadi epidemi di dunia. Tema HTBS 2019 di Global adalah “Its time”, sejalan dengan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Indonesia mengambil tema peringatan HTBS tahun 2019 yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan aksi: Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC).Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati pada 24 Maret setiap tahun, dirancang untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa TBC sampai saat ini masih menjadi epidemi di dunia. Tema HTBS 2019 di Global adalah “Its time”, sejalan dengan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Indonesia mengambil tema peringatan HTBS tahun 2019 yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan aksi: Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC).Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati pada 24 Maret setiap tahun, dirancang untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa TBC sampai saat ini masih menjadi epidemi di dunia. Tema HTBS 2019 di Global adalah “Its time”, sejalan dengan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Indonesia mengambil tema peringatan HTBS tahun 2019 yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan aksi: Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC).Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati pada 24 Maret setiap tahun, dirancang untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa TBC sampai saat ini masih menjadi epidemi di dunia. Tema HTBS 2019 di Global adalah “Its time”, sejalan dengan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Indonesia mengambil tema peringatan HTBS tahun 2019 yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan aksi: Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC).Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati pada 24 Maret setiap tahun, dirancang untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa TBC sampai saat ini masih menjadi epidemi di dunia. Tema HTBS 2019 di Global adalah “Its time”, sejalan dengan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Indonesia mengambil tema peringatan HTBS tahun 2019 yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan aksi: Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC). Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi penyakit penyebab kematian nomor satu di Indonesia di antara penyakit menular lainnya.  Sumber data di WHO dan  website Kementerian Kesehatan, bahwa di dunia, TBC merupakan satu dari sepuluh penyebab kematian dan penyebab utama agen infeksius. Setiap harinya hampir 4500 orang meninggal karena TBC dan hampir 30.000 orang yang jatuh sakit dengan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan diobati ini. Pada tahun 2017, TBC ini menyebabkan kematian sekitar 1,3 juta orang di antara orang dengan HIV negatif, dan sekitar 300.000 kematian pada penderita HIV positif.  Diperkirakan terdapat 10 juta kasus baru yang setara dengan 133 kasus per 100.000 penduduk.

Di Indonesia, insiden penyakit TBC adalah 842.000 atau 319 kasus per 100.000 penduduk sedangkan kasus TBC-HIV sebesar 36.000 kasus per tahun atau 14 per 100.000 penduduk. Angka kematian karena TBC diperkirakan 107.000 atau 40 per 100.000 penduduk dan kematian karena TBC-HIV sebanyak 9400 atau 3,6 per 100.000 penduduk. Bila dengan kasus sebesar 842.000 per tahun dan notifikasi (pelaporan kasus) TBC sebesar 442.172 kasus, maka masih ada sekitar 47% yang belum ternotifikasi. Baik itu kasus yang belum terjangkau atau belum terdeteksi atau malah belum terlaporkan. Nah, bagaimana dengan di Aceh? Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, jumlah kasus TBC untuk tahun 2018 adalah 8471 kasus dan kasus anak ternotifikasi sebanyak 240. Untuk pelaporan ini dikategorikan kasus TBC anak adalah usia 0-14 tahun. Kasus TBC terbanyak yaitu dari Kabupaten Aceh Utara yaitu sebanyak 1247 kasus dengan Case Detection Rate (CDR) 48%.
Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis yang ditemukan oleh Robert Koch. Robert Koch berhasil mengidentifikasi kuman tersebut pada abad ke-19 yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai Hari Tuberkulosis Dunia. Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) tahun 2019 ini bertujuan untuk membangun kesadaran pada masyarakat bahwa TBC masih menjadi penyakit epidemi di dunia.  Tema HTBS global adalah “it’s time”. Sedangkan Indonesia mengambil tema “Saatnya Indonesia Bebas dari TBC, Mulai dari Saya” melalui aksi “Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Tuntas (TOSS TBC). Maksud dari “Saatnya Indonesia Bebas dari TBC” adalah mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa saat ini adalah waktunya kita semua berbuat lebih untuk mencapai eliminasi TBC. Diharapkan Indonesia bisa bebas TBC di tahun 2030. Untuk kalimat “Mulai dari Saya” berarti bahwa semua orang baik yang sehat maupun sakit mempunyai kesadaran untuk memberikan kontribusinya dalam hal pencegahan dan penanggulangan TBC. Sedangkan kegiatan TOSS merupakan kegiatan penemuan secara aktif dan pasif serta mendorong pasien TBC untuk memeriksakan diri dan menjalani pengobatan hingga tuntas. Untuk peringatan World TB Day tahun ini, WHO meminta Pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk mengajak semua komunitas, organisasi sosial kemasyarakatn, para provider kesehatan, untuk bersatu dan fokus dalam “Temukan, Obati semua” #TuntaskanTB.
Apakah anak bisa menderita TBC? Tentu saja bisa. Banyak faktor risiko terjadinya infeksi TBC pada seorang anak yaitu berupa adanya kontak atau terpajan dengan orang tua/orang dewasa lain yang menderita TBC, daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang kumuh dengan hygiene dan sanitasi yang buruk. TBC merupakan penyakit menular.  Penularan penyakit ini yaitu melalui droplet (percikan) dahak saat batuk, bersin. Pasien TBC anak jarang menularkan kuman kepada anak yang lain atau orang dewasa di sekitarnya karena kuman TBC sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkhial. Jumlah kuman mycobacterium tuberculosis pada anak sangat sedikit, tapi karena imunitas anak yang lemah maka kuman yang sedikit saja sudah menyebabkan sakit. Produksi dahak pada anak yang TBC juga sangat sedikit. TBC dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC meskipun dengan tingkat penularan yang kecil.
            Ukuran kuman mycobacterium tuberculosis sangat kecil sehingga mudah sekali terhirup dan masuk ke paru. Pada sebagian kasus bila kita menghirup kuman tersebut maka kuman akan dihancurkan seluruhnya oleh sistem imunitas tubuh kita. Akan tetapi pada sebagian kasus lain tidak seluruhnya dihancurkan. Maka kuman tersebut akan terus berkembang biak dan merusak sel yang diserangnya. Kemudian kuman akan dibawa melalui kelenjar limfe sehingga menyebabkan pembengkakan (teraba pembesaran kelenjar di leher, sela paha seperti benjolan kecil). Masa inkubasi (saat mulai masuk kuman sampai timbul gejala klinis) yaitu berkisar 4-8 minggu.
Gejala klinis anak dengan TBC yaitu adanya keluhan demam berulang lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas. Gejala lain berupa nafsu makan berkurang, batuk lama lebih dari 3 minggu, berat badan anak tidak bertambah malah cenderung turun walaupun dengan asupan gizi yang cukup dan anak tampak lesu, kurang aktif bermain. Faktor yang terpenting kita mencurigai seorang anak menderita TBC adalah adanya kontak erat dengan penderita TBC dewasa. Bila menemukan gejala seperti ini akan dilakukan uji tuberkulin (mantoux test) serta beberapa pemeriksaan lain.
            Selama ini Pemerintah terus gencar melakukan berbagai cara untuk penuntasan penyakit TBC ini akan tetapi kasus yang terjadi masih tetap banyak. Ada beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan hal tersebut yaitu: 1). Masa pengobatan yang lama, dimana seseorang yang sudah didiagnosis TBC harus menjalani terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan bahkan ada yang harus minum obat selama 9-12 bulan. Hal tersebut menyebabkan banyak pasien yang menghentikan pengobatannya sendiri mungkin karena bosan minum obat terus menerus. 2). Adanya peningkatan kasus infeksi HIV. HIV menyebabkan kondisi tubuh dengan daya tahan yang buruk karena syitem imunitas yang diserang oleh kuman HIV sehingga memudahkan kuman lain bisa menyerang tubuh termasuk salah satunya adalah kuman mycobacterium Tuberculosis ini. 3). Terjadinya resistensi obat OAT dimana ini menyebabkan makin sulitnya pengobatan pasien TBC. Pemicu resistensi obat tersebut adalah pengobatan yang tidak tuntas dimana pasien memutuskan berhenti minum obat.
            Pada anak, kasusnya juga terus meningkat. Semakin meningkatnya kasus TBC pada anak belakangan ini sangat berkaitan dengan semakin meningkatnya kasus TBC pada orang dewasa. Pelacakan penderita TBC dewasa dan juga anak menjadi keharusan bagi semua petugas kesehatan juga kader kader di desa yang sudah dilatih untuk mengenali masyarakat yang mungkin menunjukkan gejala TBC. Setelah terindentifikasi maka akan dilakukan pemeriksaan sesuai prosedural dan pengobatan sampai tuntas.
Bila dalam satu keluarga ditemukan ada yang menderita TBC maka seluruh anggota keluarga harus dilakukan pemeriksaan. Apakah juga sudah menderita penyakit tersebut. Termasuk anak juga harus dilakukan pemeriksaan. Walaupun hasilnya negatif, si anak tetap harus diberikan terapi pencegahan satu macam obat dan diminum selama masih kontak dengan si penderita atau dengan kata lain sampai si penderita dinyatakan sembuh oleh dokter. Selama kontak dengan penderita untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan mengedukasi penderita supaya menutup mulut saat batuk dan bersin, tidak meludah atau buang dahak sembarangan, menghindari kontak langsung dengan anak-anak, dan membiarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan serta tetap mengkonsumsi makanan yang bergizi dan tentu saja menghentikan merokok (bila selama ini si penderita merokok).
Penyakit TBC bisa dicegah salah satunya dengan imunisasi BCG yang diberikan saat usia 1 bulan. Efek proteksi vaksin BCG ini timbul 8-12 minggu setelah imunisasi. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TBC paru, TBC Milier, TBC selaput otak (meningitis TB), TBC Tulang Belakang (Spondylitis TB). Walaupun imunisasi ini tidak mencegah 100% kejadian TBC akan tetapi sangat efektif terutama untuk mencegah TBC yang berat. Jadi tunggu apalagi, mari bawa bayi bayi kita untuk imunisasi BCG sehingga dapat mencegah TBC.  Para orang tua jangan sampai terpengaruh dengan berbagai kampanye hitam tentang imunisasi. Kesehatan anak anak kita jauh lebih penting. Dengan berbagai upaya yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat kita harapkan suatu saat nanti Aceh bisa Bebas TBC. SEMOGA…
Tulisan ini sudah dimuat di harian Serambi Indonesia tanggal 23 Maret 2019. yaitu dihttp://aceh.tribunnews.com/2019/03/23/kapan-aceh-bebas-tbc

Tidak ada komentar:
Write komentar

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.